Senin, 13 Juni 2011

Manis dan pahit nya cinta


Manis dan pahit nya cinta

Cinta , cinta itu apa ya????? Bingung menerjemahkan cinta… tapi menurut ku cinta itu adalah kasih sayang terhadap sesorang. Cinta itu luas pengertian nya .

Cinta tidak selamanya indah dan tidak selamanya buruk ,, tapi yang sakit nya kalau cinta itu hanya ada di saat awal pacaran saja , tapi di tengah-tengah selingkuh , berdua ma cowok lain.  Hmhmhmhmmhm panas jadi nya

Manis nya cinta ya bisa terus bersaMA nya sepanjang masa dan abad :P  , saling setida,saling menyanyangi dan mencintain.
Kalau pahit nya ya mungkin di selingkuhi dan si dia jalan atau apalah gitu ma orang lain dan ada dusta diantara mereka

Apakah kita bisa dapat cinta yang manis???? Atau kah kita dapat pahit nya cinta??? Iitu bisa di jawab dengan perasaan masing-masing

Manis nya cinta bisa di dapat jika dari masing-masing pasangan menerapkan system saling terbuka dan jangan ada dusta alna dusta itu menyakitkan…

Inti dari catatan ini adalah bagaimana pun pasti kita pernah merasakan manis pahit nya cinta, tapi bagaimana pun cinta itu indah jika kita dapat mengatur,menjaga,konsisten dan setia.

Catatan : akbar Maulana

Jumat, 10 Juni 2011

PSMS Bintang, Bintang PSMS, Medan City, PSMS 1950

PSMS Bintang, Bintang PSMS, Medan City, PSMS 1950

Catatan Sepakbola | T Agus Khaidir

Beberapa waktu lalu, dalam percakapan bersama beberapa rekan pada forum diskusi level warung kopi, tentunya setelah ngalor ngidul kesana kemari mulai soal heboh SMS "main belakang" Nazaruddin hingga Lionel Messi, sekonyong-konyong tercuat topik soal PSMS.
BUKAN menyangkut kegagalan menyakitkan di putaran delapan besar yang hingga detik ini penyebabnya masih menyisakan misteri. Bukan pula terkait ribut-ribut beberapa eks pemain yang menyebut gajinya yang sampai detik ini belum dibayarkan. Tapi perihal wacana peleburannya dengan Bintang Medan.

Disebut wacana karena sejauh ini memang baru sekadar ide. Itu pun kemudian diketahui bukan dicetuskan oleh kedua lembaga bersangkutan. Para petinggi manajemen PSMS Medan maupun Bintang Medan sama-sama terkejut mendengarnya.

Sebelum masuk pada keterkejutan itu, barangkali ada baiknya dirunut dulu seperti apa idenya. Ide yang ketika dipandang sekilas pintas memang memukau, memesona, menakjubkan, tapi setelah dicermati lebih jauh dan lebih dalam ternyata -meminjam kalimat yang biasa muncul dalam kisah-kisah humor tahun 1950an (yang rata-rata ditulis oleh pengarang peranakan Indonesia-Tionghoa)- amatlah loetjoe sampai bikin moelas peroet.

Ide besarnya adalah penyatuan Indonesia Super Liga (ISL) dan Liga Primer Indonesia (LPI): liga "negeri" dan "swasta" di negeri ini. Konon FIFA sudah memberi ultimatum agar dagelan yang sesungguhnya tak lucu ini segera dihentikan. "Kami cuma mau mengakui satu liga. Kalian pilih satu di antaranya," barangkali begitu Sepp Blatter berkata.

Karena hampir tidak mungkin menghentikan ISL (dan seluruh turunannya hingga divisi III), maka sudah barang tentu LPI yang harus dihilangkan. Namun sudah tentu pula hal ini tidak semudah membalik telapak tangan. Bagaimanapun konsorsium LPI telah berbuat untuk sepakbola negeri ini  (kalimat lain untuk menyebut sudah mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak sedikit). Liga telah digelar: ada jadwal pertandingan, ada klub, ada pelatih, pemain, ofisial, ada panitia pertandingan, ada tukang catut karcis, ada pedagang asongan, ada tukang parkir, dan lainnya. Pendek kata, ada banyak orang yang mencari makan di sana dan karena faktor kemanusiaan juga harus masuk sebagai parameter perhitungan.

Barangkat dari sini ide yang muncul bukan pembubaran, tapi penyatuan. Dua belah pihak setuju. Yang belum disepakati adalah konsep penyatuannya. Kemana LPI akan dilebur? Nah, sampai di sini, seperti Belanda yang sudah dizinkan masuk untuk berbisnis jual beli rempah tapi kemudian serakah mau mencaplok tanah, "orang-orang" LPI, lewat kepercayaan diri tingkat tinggi ngotot ingin masuk ke ISL, kasta tertinggi sepakbola nasional. Artinya, klub-klub yang baru dibentuk rata-rata satu tahun ini (kecuali PSM Makassar, Persema Malang, Persebaya Surabaya, dan Persibo Bojonegoro), melesat langsung melewati tiga jenjang. Padahal tiap tahun ratusan klub berjuang satu musim kompetisi penuh (sekitar 9-10 bulan) untuk naik level.

Mungkin karena banyak yang mentertawakan kekonyolannya, kengototan ini surut. Berganti wacana lain, yakni merger, peleburan. Klub LPI melebur dengan klub dari liga PSSI yang berada dalam satu wilayah. Misalnya, Persija dengan Batavia Union atau Jakarta 1928, Persipura dengan Cendrawasih Papua, Semen Padang dengan Minangkabau FC, Persiraja dengan Aceh United, Persib dengan Bandung FC, dan lainnya, termasuk Pro Titan dengan Medan Chiefs dan PSMS dengan Bintang Medan. Tujuannya sama, masuk ke ISL.

Sampai di sini muncul tiga tanda tanya. Pertama, klub yang tidak memiliki patner merger di satu wilayah akan pergi kemana? Ke ISL, ke Divisi Utama, ke Divisi I atau kemana?

Contohnya Bali De Vata. Kemana mereka akan melebur? Bali sebenarnya bukan tak punya klub yang berkiprah di Liga Indonesia. Namun Persegi Gianyar dan Persekaba Badung hanya berada di Divisi I. Perseden Denpasar bahkan lebih jauh lagi di level bawah. Apakah klub LPI nan merasa diri elitis ini mau berkompetisi di sana? Rasanya tidak. Karena jika tidak, tentulah Bintang Medan tak hanya membidik PSMS yang berada di Divisi Utama. Mereka pasti juga akan melirik Medan Jaya atau PSDS Deliserdang yang saat ini berkutat di Divisi I.

Tanda tanya kedua dan ketiga memiliki keterkaitan satu sama lain karena sama-sama berhubungan dengan kata sepakat. Apakah klub-klub Liga Indonesia mau saja dimerger?

Peleburan hakekatnya menguatkan. Bagaimana jika upaya peleburan justru tidak merujuk ke arah itu? Bukan bermaksud menyepelekan. Tapi apalah, misalnya, yang bisa diharap dari Cendrawasih Papua? Apakah mereka bisa menambah soliditas, kemapanan teknik, dan ketajaman yang sudah terbentuk di antara Boaz Salossa dan kawan-kawan yang tahun ini kembali menjuarai ISL? Kekuatan kedua klub ini ibarat bumi dan langit. Yang satu juara kompetisi level tertinggi, bahkan melesat memberi sengatan di Liga Champions Asia, yang satu terpuruk di dasar klasemen LPI.

Alangkah beruntungnya Cendrawasih. Alangkah malangnya Persipura. Atau mungkinkah mereka sedikit menurunkan posisi tawar, merayu untuk melebur bersama Persiwa Wamena? Atau, jika memang upaya menyeberang ke ISL cukup dengan melebur dengan klub Divisi Utama, bisakah mereka mendekati Perdafon Dafonsoro, Persiram Raja Ampat, atau Perseman Manokwari?

Belum lagi jika bicara dari sudut pandang cocok tak cocok. Lihatlah ke Malang! Arema dan Persema, sampai datang "hari kiamat" sekalipun barangkali tidak akan mau saling melebur. Arema telah lama memproklamirkan diri sebagai "suara rakyat", sedangkan Persema sebaliknya, "nafas birokrat". Mereka bermusuhan dari sisi filosofis dan ideologi, seperti halnya Real dan Atletico di Madrid atau Juventus dan Torino di Turin.

Baiklah dari Malang akan datang dua tim. Bagaimana kota-kota lain? Persija, apakah akan melayani peleburan sekaligus dari Batavia Union dan Jakarta 1928? Jika Macan Kemayoran menolak, kemana bidikan beralih? Ke Persitara yang berada di Divisi Utama? Atau ke Persikota dan Persita Tangerang dengan risiko bersaing dengan Tangerang Wolves? Juga Persiba Bantul, apakah akan lapang dada bersedia membonceng Ksatria Solo FC dan Real Mataram, setelah mereka berjuang sampai nafas ngos-ngosan untuk bisa lolos ke ISL?

Sampai di sini saja kekacauan sudah sangat kompleks. Tapi itu belum cukup. Masih ada kekacauan lain yang lebih prinsipil sifatnya. Sebagaimana lazimnya peleburan, tentulah diperlukan nama baru sebagai penanda identitas terkini. Keliru benar jika menganggap perkara mengubah nama ini seremeh hal serupa dalam program custom game pada winning eleven, pro evolution soccer, atau football manager. Di alam nyata, nama ini menyangkut karakteristik, sejarah, bahkan kehormatan.

Belum jelas di daerah lain, tapi untuk wacana merger PSMS Medan dan Bintang Medan, sejauh ini sudah tercetus empat opsi nama, yakni PSMS Bintang, Bintang PSMS, Medan City, dan PSMS 1950. Tapi persoalannya, apakah orang Medan setuju?

Sampai kapan pun mungkin tidak. Maka seperti para petinggi manajemen PSMS dan Bintang Medan, keterkejutan yang sama juga muncul dari para dedengkot kelompok suporter. Nata Simangunsong dari SMeCK Hooligan menyebutnya sebagai wacana ngawur. Usman Toekoel lebih keras lagi bersuara. Pentolan PSMS Fans Club ini, sang peneriak di pagar tribun sektor utara Stadion Teladan, pada akun Facebook miliknya menuliskan kalimat ini: "Mau BM, PSMS Bintang, suka kalian lah itu, yg jelas kami bukan penjilat. Hanya PSMS Medan yang kami dukung. Selain itu haram."

SMeCK memiliki kurang lebih 10 ribuan anggota yang loyal dan rela melakukan hal paling gila sekalipun demi PSMS. Semboyan mereka yang terkenal berbunyi "PSMS Sampai Mati". PSMS Fans Club tidaklah kalah militan. Masih pula ada Kampak FC yang meneriakkan ketidakrelaan serupa. Jadi apalagi! Rasanya tak ada suara lain yang lebih sahih dari suara mereka.(*)





RENOVASI STADION TELADAN BAGAI MIMPI DI SIANG BOLONG

STADION TELADAN DIRENOVASI BAGAI MIMPI DISIANG BOLONG

Siapa yang gak kenal stadion teladan????? Yang dulu merupakan stadion terbesar setelah SUGBK , dan pernah di helat perandingan tim seri A italia, tapi stadion teladan dimakan waktu dan zaman dengan tidak disertai dengan perawatan yang berarti.
Mengingat historis puluhan tahun silam, PSMS Medan berjaya. Meskipun turun kelas, Ayam Kinantan tetap menawan dan mempesona. Tingkat Nasional, tim kebanggaan kota Medan ini sudah menyandang enam kali gelar juara – semenjak kompetisi resmi PSSI tahun 1951. Bahkan berhasil pula mengambil gelar juara berturut-turut di tahun 1967, 1969 dan 1971. Tak cukup sebagai jawara di tanah air, juga mengukir prestasi di tingkat Asia.

The Killer – julukan lain dari PSMS Medan, mencatat sebanyak lima kali mengikuti kejuaraan di luar negeri. Dalam Turnamen bertajuk Aga Khan Gold tahun 1967 di Dakka Pakistan Timur (Bangladesh, Red), PSMS keluar sebagai juara. Dua gol dari Tumsila menumbangkan klub tuan rumah Mohamaden dengan skor 2-1. Berlanjut di tahun 1977, dalam gelaran Quenn Cup di Bangkok. Sayangnya, anak-anak Medan ini gagal menempuh babak semifinal. Terakhir, PSMS Medan mencatatkan sebagai tim pertama dari Indonesia yang lolos sampai babak 16 besar, di AFC Cup 2009 lalu.Sebuah prestasi yang membanggakan tentunya. Itulah sederetan fakta. Kebenaran dan kebanggaan yang pelan-pelan luntur, akibat menurunnya prestasi.

Prestasi PSMS Medan dimana sebuah zaman, saat Stadion Teladan berdiri megah. Stadion yang layak untuk ditandangi klub – klub dari Asia, seperti Korea, Jepang, Vietnam, Singapura dan Burma. Stadion Teladan yang melahirkan sejarah hingga cerita menarik lainnya. Perseteruan dan perselihan tumbuh di kalangan pemain. Misalnya protes kapten klub Vietst, Nguyen Van Mon. Terkait keputusan wasit Takayama dari Jepang, atas hakim garis Polinandu yang tidak melihat offside pemain PSMS. Ada juga juga perseteruan pemain Korea Selatan dengan anak-anak bola Vietnam Selatan. Belum lagi kericuhan antara Tumsila (PSMS) dan Jacob Sihasale plus Didiek dari Persebaya.
Setelah dibangun menyambut even Nasional PON III 1953 di Sumatera Utara, Stadion Teladan saat itu sangat representative. Tak hanya dari deretan Asia, klub dari Australia dan Belanda hingga Lokomotiv Rusia sekalipun pernah menginjakan kakinya.

Termasuk tim selevel Seri A Liga Italia, Samdoria di tahun 1996, saat melawan tim nasional Indonesia. Tingginya arus kompetisi di Stadion Teladan membuahkan pemain bintang.
Kota Medan menjadi salah satu barometer sepakbola di Indonesia. Tercatat dalam sejarah nama-nama seperti Ramlan Yatim, Manan Laly, Ramli Yatim, Buyung Bahrum, Rasyid, Anwar Daulay, Idris, Jusuf Siregar, Syamsudin, Ahmad Kadir dan Cornel Siahan (PSMS tahun 1950-an). Menyusul terdapat Yuswardi, Muslim, Rudy Siregar, Jamaluddin, Zulham Yahya, Sunarto, Edy Suwardi, Abdul Rahim, Zulkarnaen, Ipong Silalahi dan Nawir Siregar di tahun 1960-an. Berlanjut ke tahun 1987, zamannya Sunardi B dan juga Nobon, Ponirin hingga pemain Parlin Siagian.

Kini waktu terus berjalan. Banyak harapan besar yang diwariskan untuk melanjutkan tradisi hebat tersebut. Sayangnya, harapan itu gagal total. Kota Medan seperti bermimpi dalam kondisi yang tidak tertidur. Berharap berprestasi namun tidak bekerja. Apalagi pasca Badan Liga Indonesia (BLI) memperlakukan proses verifikasi soal infrakstrur Stadion (2008/2009) lalu. Sepakbola Medan mati suri. Beberapa fasilitas penunjang seperti ruang ganti, lampu, rumput tidak sesuai dengan manual untuk menggelar Indonesia Super League (ISL). Stadion Teladan menjadi saksi mati prestasi PSMS.

Kota Medan tidak lagi menjanjikan bagi pemain bola. Banyak pemain memilih berkarir di luar Medan. Satu bukti nyata, adalah pemain yang membawa PSMS ke final 2008 lalu pun ikut kabur. Tanpa magnet besar, Saktiawan Sinaga, Mahyadi Panggabean, Markus Ririhina dan Legimin Rahardjo ada generasi terakhir emas tim berlogo Tembakau ini. Bagaimana untuk kelanjutannya? Siapapun akan kesulitan untuk menjawabnya. Sekalipun anda dedengkot di PSMS. Selentingan nasib PSMS bergantung hasil Pilkada Kota Medan selalu mewarnai.

Itulah sebuah pandangan yang sudah tertanam dari belasan tahun lalu. Akibatnya, sulit mengantungi harapan PSMS bisa bangkit kembali. Apalagi saat ini bermain di level Divisi Utama. Sebuah fakta tambahan yang menyatakan tidak akan ada lagi calon bintang dari PSMS. Sebuah kondisi yang memiriskan hati kita pencinta Ayam Kinantan. Padahal sebelum proses verifikasi, Stadion memberikan efek yang luar biasa. Skuad Merah Putih bermaterikan pemain yang berasal dari Medan. “Kalau waktu dulu main di Medan, bulu kita sudah merinding duluan sebelum bertanding,” kata Rudi Keltjes, pelatih yang pernah merasakan kerasnya atmosfer di Stadion Teladan. Lantas, bagaimana cara mengembalikan kebesaran itu?

Orang-orang selalu mencanangkan program pembinaan. Namun selain itu, ada faktor lain yang sangat menentukan dan sudah terbukti menjadi ikon penting. Infrakstruktur adalah menjadi pendorong utama melahirkan kembali pemain berbakat. Membangun stadion baru atau merenovasi Stadion Teladan memang harus segera dilakukan. Sejarah PSMS puluhan tahun lalu menegaskan, Stadion yang representative melahirkan pemain bintang.. Saat itu Stadion Teladan memberikan efek luar biasa bagi Kota Medan. Membangun atau merenovasi Stadion Teladan adalah hal yang bisa mengangkat moral pemain untuk bergairah naik ke Indonesia Super League (ISL).
Sepakbola juga akan terus mengalami kemajuan. Ribuan anak-anak dari Sumatera Utara tetap bercita-cita menjadi pemain bola. Di satu sisi lagi, dalam jumlah yang sama juga merindukan tontonan yang menarik tersebut. Sepakbola itu tidak pernah mati, selalu beregenerasi. Dengan infrakstruktur stadion yang layak, menghasilkan makna kepuasan. Melahirkan sebuah permainan yang menarik dan nyaman. Selain itu juga mampu meminimalisir tingkat benturan atau cedera pemain.



Selain menjadi sebuah entertaint, stadion yang layak menjadikan ajang beredukasi. Rumput yang berkualias melahirkan permainan yang punya identitas. Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, masih belum memilikinya. Soal Stadion kalah dengan kabupaten di daerah lain, seperti Madiun dan Cirebon atau juga Sleman. Tidak memiliki klub professional, mereka memiliki Stadion yang lebih baik dari Stadion Teladan.
Apa harus jadi tuan rumah PON dulu baru di renovasi???? Atau tunggu terjadi bencana dulu baru di renovasi atas bantuan FIFA???? Kita tak ingin kota medan terkena musibah. Tapi sampai kapan kah stadion teladan akan seperti ini terus????
Sebuah pertanyaan yang mendasar dari lubuk hatii dan keinginan melihat stadion teladan menjadi stadion standard internasional
Apalagi kota medan akan membuat program “visit kota medan 2012” semoga dengan ini stadion teladan akan direnovasi agar kota medan akan menjadi kota yang banyak dikunjungi para wisatawan asing maupun local.
Dengan di renovasi stadion teladan akan membangkitkan lagi animo penonton ke stadion teladan dan secara tidak langsung akan merangsang kembali masa kejayaan PSMS MEDAN .

Lihat saja pada waktu PSMS MEDAN VS PRO TITAN baru 15 menit saja di guyur hujan stadion teladan sudah tidak dapat dipakai lagi  terpaksa di tunda , untung saja kesetiaan SMeCK HOOLIGAN tidak luntur karena hujan deras , mereka rela menunggu dan kehujanan sedangkan 2 kelompok supporter PSMS MEDAN  yang lain udah pulang, mereka pun melakukan aksi heroik dengan menguras lapangan dan pertandingan Di Lanjutkan. Lhat juga pada pertandingan pro titan vs persiraja sama juga kejadian nya hujan 15 menit lapangan sudah tidak bisa dipakai.

Tapi dari ini semua aku yakin stadion teladan akan kembali berdiri megah dan kembali nya kejayaan PSMS MEDAN , tapi itu kapan kah stadion teladan renovasi??? Stadion teladan di renovasi bagai mimpi disiang bolong.

Catatan pribadi ku dengan kutipan catatan lain : AKBAR MAULANA

Kamis, 09 Juni 2011

Suporter: Revolusi pengurus PSMS!

Suporter: Revolusi pengurus PSMS!

WASPADA ONLINE


(WOL Photo/Austin Antariksa)
MEDAN - Kegagalan PSMS Medan mencapai Superliga dalam dua musim terakhir membuat masyarakat pecinta Ayam Kinantan gerah. Terutama musim ini, disaat harapan terbuka lebar dengan lolosnya PSMS ke babak delapan besar. Untuk itu, tuntutan merevolusi pengurus kembali menggema.

Salah satu yang gencar bersuara adalah Suporter Medan Cinta Kinantan (SMeCK) Hooligan. SMeCK kerap melontarkan tuntutan agar dilakukan perubahan di tubuh pengurus maupun manajemen PSMS. Tentunya individu-individu yang duduk di kursi kepengurusan. “Menurut kami, pengurus sekarang memang harus direvolusi. Manajemen juga harus dari pihak yang paham betul cara memajukan PSMS. Kami tahu ini tak mudah, tapi kami siap bantu,” ujar Ketua Umum SMeCK Hooligan, Nata Simangunsong, kepada Waspada Online tadi malam.

Satu hal yang menjadi catatan adalah menyoal mendatangkan pemasukan bagi PSMS di luar APBD. Tak dipungkiri selama ini PSMS masih sangat bergantung pada anggaran dari pemerintah daerah. “Pengurus dan manajemen yang ada selama ini masih sebatas paham mengurus bola, tapi tidak paham membuat klub bola yang diurus menjadi klub profit. Maka itu mari kita coba sama-sama untuk menjadikan PSMS sebagai klub yang berhasil lepas dari APBD dan bisa untung dari segi pemasukan,” tukasnya.

Yang tentunya juga perlu disorot adalah penggunaan APBD yang tak pernah ada transparansi. Termasuk pemasukan dari penjualan tiket saat PSMS menggelar laga kandang di Stadion Teladan. Wajar saja jika dugaan-dugaan lantas muncul. “Kalau pakai APBD, harusnya ada laporan yang diketahui publik. Jangan sampai ditutupi seolah-olah memang ada yang tidak beres,” lanjut Nata.

Beredar wacana bakal ada perubahan di struktur kepengurusan setelah Walikota Medan Rahudman Harahap duduk di kursi ketua umum. Terutama di posisi-posisi vital seperti Sekretaris Umum, Ketua Harian, dan lainnya.

Rabu, 08 Juni 2011

12 Juni Penentuan Pemain Yang Dipertahankan

12 Juni Penentuan Pemain Yang Dipertahankan
|
psms-kado.jpg
TRIBUN MEDAN/TAUFAN WIJAYA
TRIBUN-MEDAN.com MEDAN -
Seluruh mantan pemain PSMS akan dikumpulkan pada 12 Juni mendatang. Agendanya ialah pelunasan hak-hak pemain berupa gaji dan pengumuman pemain yang dipertahankan atau tidak. Hal ini disampaikan Sekum PSMS, Idris S.E.

Jadwal ini diundur kembali. Sebelumnya dijanjikan 7 Juni, lalu dimundurkan 10 Juni dan terakhir 12 Juni. Idris menyebutkan ada sedikit kendala teknis. Sehingga pihaknya terpaksa mengundur pertemuan tersebut.

"Ada beberapa pemain yang akan dipertahankan. Tentu ini harus diberitahukan secara langsung," ujarnya kepada tribunmedan.com, Selasa (7/6/2011). Tetapi hingga saat ini pemberitahuan kepada mantan pemain masa kontrak 2010/2011 belum disampaikan. 

Selasa, 07 Juni 2011

Sejak Bocah Cinta PSMS

Sejak Bocah Cinta PSMS

|

Wartawan Tribun Medan/raf
TRIBUN-MEDAN.com,  MEDAN - Sejak mulai mengenal sepakbola dan oleh kawan-kawan sepermainannya dinobatkan sebagai "yang terjago", hanya ada satu keinginan dibenak Rinaldo. Ia ingin menjadi bagian dari PSMS Medan. Padahal klub besar yang berada paling dekat dengan kampungnya adalah PSDS Deliserdang.

"Aku juga nggak tahu kenapa. Mungkin karena semenjak kecil aku lebih sering mendengar soal PSMS. Sejak masuk usia remaja sebenarnya aku sudah main untuk PSDS. Tapi begitulah, keinginan untuk masuk PSMS tetap saja menggebu," kata Rinaldo dalam perbincangan dengan Tribun, melalui sambungan telepon dari Medan, Senin (6/6). Rinaldo saat ini sedang berlibur di "kampungnya", Perbaungan, sebuah kota kecil di Kabupaten Serdangbedagai.

Sebelum menjadi bagian dari Serdangbedagai, selama berpuluh tahun Perbaungan masuk ke wilayah Kabupaten Deliserdang. Dari kota kecil ini lahir cukup banyak pemain PSDS Deliserdang. Pamor PSDS, terutama saat masih berada di kompetisi Perserikatan dan Liga Indonesia (pra ISL) pada dasarnya setara PSMS. Namun itu tadi, perkara rasa suka tak dapat diperdebatkan.

"Waktu musim lalu bisa masuk PSMS rasanya senang sekali. Apalagi aku beberapa kali dipercaya jadi pemain utama. Aku bahagia main di PSMS. Kalau bisa, aku ingin main di sini untuk jangka waktu lama. Aku ingin jadi starter musim depan. Ingin bawa PSMS ke ISL," ujarnya.

Tapi hingga saat ini Rinaldo belum dihubungi manajemen PSMS Medan. Padahal di saat yang sama, kontak telah dilakukan manajemen PSLS Lhokseumawe. "Mereka kontak belum lama ini. Menawarkan aku untuk main di sana. Tapi jawaban belum aku berikan. Bagaimana pun PSMS tetap nomor satu di hati. Aku berharap ada sinyal secepatnya dari manajemen," kata Rinaldo.(raf)

SMeCK Hooligan Nilai Merger Tak Rasional

SMeCK Hooligan Nilai Merger Tak Rasional
RandyHutagaol
TRIBUN-MEDAN.com MEDAN - Wacana merger PSMS Medan dan Bintang Medan mendapat tanggapan dingin dari SMeCK Hooligan. Wacana itu disebutkan sebagai angin lalu. Tidak memiliki pijakan rasionalitas yang kuat.
Ketua Umum SMeCK Hooligan, Wahyudinata Simangunsong menyebutkan wacana itu tidak perlu ditanggapi dengan serius. “Rasionalitasnya apa coba?. SMeCk tetap mendukung PSMS dan Bintang Medan. Tetapi soal merger itu terlalu dini untuk digembar-gemborkan. Parahnya lagi sulit diterima akal sehat di tengah kekisruhan PSSI ini,” katanya, Selasa (8/7).
Nata menyebutkan pihaknya sudah beraudiensi dengan Ketua Umum PSMS Rahudaman Harahap dan CEO Bintang Medan Dityo Pramono. Namun tidak ada sedikitpun haluan ke arah merger. “Saya pikir yang mewacanakan itu tidak memiliki kapasitas mengatakan itu. Karena itu tidak perlu dikomentari lah,” pungkasnya.(raf/ tribunmedan.com)

Avian: Nama besar PSMS dipertaruhkan

Avian: Nama besar PSMS dipertaruhkan
DONI HERMAWAN
Koresponden Olahraga
WASPADA ONLINE


(WOL Photo)
MEDAN - Peraturan pemerintah yang akan berlaku pada 2012 kelak menyoal larangan asupan APBD membuat klub-klub sepakbola di tanah air was-was. Tak dipungkiri sumber keuangan rata-rata klub di tanah air masih total mengandalkan anggaran dari pemerintah daerah, termasuk PSMS Medan, klub sepakbola daerah kebanggaan masyarakat Sumatera Utara.

Terbukti dari Rp11 miliar pengeluaran klub musim lalu, tiga perempatnya berasal dari bantuan APBD. Sebanyak Rp7 miliar, Ayam Kinantan mendapat bantuan dari APBD dan selebihnya PSMS mencari sumber pendanaan lain baik dari sponsor maupun penjualan tiket penonton.

Lalu bagaimana kelangsungan PSMS ke depan setelah dana APBD distop pemerintah?

Menurut Regional Vice President BD Liga Primer Indonesia (LPI), Avian Tumengkol, kelangsungan PSMS menjadi perhatian masyarakat luas di Medan, khususnya di kalangan suporter. Karena itu, menurut Avian, pihak manajemen PSMS perlu segera mematangkan rencananya untuk menyelematkan PSMS dari ketidakikutsertaannya dalam liga nasional mendatang.

Avian menjelaskan, ke depan diharapkan akan terjadi langkah integratif dengan semua liga yang ada saat ini, khususnya ISL (Indonesian Super League) dan LPI (Liga Primer Indonesia). "Saya melihat PSSI kita ke depan akan bersatu diantara beberapa pihak. Tapi saya cukup yakin pascakongres nanti, hasilnya akan menguntungkan semua pihak yang bisa menjamin masa depan sepakbola nasional kita akan berada pada jalur yang tepat," jelasnya, kepada Waspada Online, malam ini.

"Merger diantara PSMS dan Bintang Medan di LPI adalah langkah yang menurut saya tepat, dan akan menguntungkan kedua pihak. Bahkan, sebenarnya merger ini akan sangat menguntungkan PSMS," kata Avian.

PSMS memiliki nilai sejarah yang historis dan nama besar yang sudah bersuara di tingkat Eropa. Dengan adanya liga nasional sepakbola yang baru pascakongres, manajemen PSMS diharapkan dapat serius mengelola PSMS agar para pecinta dan penggila PSMS tetap menyatu. Pihak LPI akan fokus pada manajemen klub dan menyediakan anggaran untuk kelangsungan klub. "Tapi ISL juga punya banyak kekuatan yang perlu dipertahankan. Khususnya pemain dan suporter yang punya basis kuat. Ini harus kita hormati," papar Avian.

“Banyak keuntungan yang bisa diperoleh PSMS jika merger dengan Bintang Medan, terutama untuk pendanaan klub ke depannya. Nama besar PSMS punya sejarah panjang sejak 60 tahun yang lalu. Ini menjadi pertaruhan," tegas Avian lagi.

Ditanya soal nama yang akan digunakan jika merger, Avian membeberkan nama-nama termasuk PSMS Kinantan, PSMS Medan, PSMS 1950. "Atau PSMS Bintang juga bisa kalau mau. Itu nanti disepakati bersama dan manajemen PSMS juga perlu bahas itu dengan 40 klub itu. Tapi yang jelas, PSMS akan kembali bangkit dan jaya dengan adanya merger ini," tegasnya.

Senin, 06 Juni 2011

tak transparan

Tak Transparan

Tak Transparan
PAMERAN: Pengunjung melihat deretan foto yang dipamerkan dalam pameran foto ‘Untukmu kami persembahkan PSMSku’ oleh Pewarta Foto Indonesia Medan di kawasan Stadion Teladan.//ANDRI GINTING/SUMUT POS
 
Uang Tiket dan Sponsor tak Jelas
MEDAN-Pengurus PSMS hingga kini masih menyimpan dalam-dalam hasil pemasukan dari penjualan tiket satu musim lalu. Nilai kontrak dari sponsor yang masuk di putaran kedua juga tak disebutkan oleh pengurus dan manajemen.
Kondisi ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Dugaan demi dugaan pun bermunculan. Khusus untuk pemasukan tiket, hingga saat ini tidak ada transparansi dari pengurus. Padahal Panitia Pelaksana (Panpel) PSMS mengaku akan memberitahukannya ke publik. Saat itu Julius Raja mewakili panpel mengaku akan segera mengumpulkannya. Namun hingga saat ini hal itu tak terwujud. Alasannya adalah uang hasil tiket tersebut masih dihitung.
Menurut kali-kali matematika sederhana, pemasukan dari tiket selama satu musim mencapai Rp1milyar. Hitungan sederhananya adalah harga tiket Rp15 ribu yang paling murah dan Rp10 ribu untuk fans. Setiap pertandingan PSMS musim lalu, rata-rata 10 ribu penonton hadir ke Stadion Teladan. Rp10 ribu dikalikan 10 ribu sama dengan Rp100 juta. Itu satu pertandingan. Dan ingat ada juga harga tiket yang mencapai Rp50 ribu dan Rp25 ribu.
Kalau rata-rata Rp100 juta saja pendapatan tiket satu pertandingan, maka Panpel harusnya menanggok penghasilan satu musim dari 12 partai kandang senilai Rp1,2 milyar. Namun jumlah aslinya tak pernah diberitahukan secara transparan kepada publik. Padahal sebagai klub menuju profesional untung rugi selama satu musim mesti dipaparkan ke publik. Termasuk nilai pendapatan dari kerjasama sponsor, juga harus dipublikasikan.
“Kalau mau jadi klub berprestasi, profesional, harusnya hal-hal seperti itu diumumkan. Jadi publik tak menduga-duga ada tidak unsur korup di kepengurusan PSMS. Kalau diumumkan kan jadi jelas semua. Ini kesannya ditutup-tutupi, jadi semua berpikir negatif terhadap kepengurusan PSMS selama ini,” beber Nata Simangunsong Ketua Suporter Medan Cinta Kinantan (SmeCK ) Hooligan kemarin.
Di samping itu, kepengurusan PSMS pada setengah musim 2009/2010 lalu hingga musim 2010/2011 juga belum melaporkan pertanggungjawaban pemakaian APBD Kota Medan. Padahal ada pengakuan dari salah satu sumber terpercaya koran ini, pihak Kejatisu sudah mulai menyelidiki indikasi kecurangan pemakaian APBD tersebut.
“Lebih baik begitu. Kalau pengurus masih tak transparan, pihak Kejatisu atau Kejari Medan harusnya bertindak untuk mengusut. Harus ada juga audit atas penghasilan musim lalu, termasuk pemakaian APBD tersebut,” pungkas Nata.

cinta buta , adakah atau hanya kiasan kata saja???

coba perhatikan lirik lagu armada band yang berjudul cinta itu buta sebagai berikut "biarlah orang berkata apa,manusia tak ada yang sempurna,ku terima kau apa adanya yang penting aku bahagia"  berarti cinta buta itu hanya menguntungkan satu pihak dong??????? ya istilahnya yang sempurna tidak bahagia menjalin hubungan dengan yang tidak sempurna dan yang tidak sempurna bahagia menjalin hubungan dengan yang sempurna, tidak adil dong??? tapi saya tidak bahas untung rugi nya cinta buta itu.

cinta buta adalah mencintain seseorang tanpa melihat fisik,status ekonominya,dan agamanya,tetapi dia memberi cinta nya dengan tulus.. akan tetapi adakah itu cinta buta????? hmhmhmhmhmhmhm
saya ingin tanya apa sih kriteria anda saat mencari pasangan??? pastinya ganteng atau cantik,manis,kaya,seagama, benerkan???  ga usah munafik,itu memang sifat manusia yang ingin bersama orang yang sempurna.

jadi dimanakahr cinta buta itu??? apakah cinta buta itu hanya kiasan kata atau judul lagu???

menurut saya sih cinta buta itu hanya ada di omongan tapi tidak ada buktinya. cinta buta itu hanya ada di awal hubungansaja, di pertengahan merasa nyesal bagi yang tidak mencintain pasangan nya dengan tulus..

memang cinta itu harus menerima apa adanya dalam kondisi apapun tapi pastinya ada rasa ingin memiliki pasangan sempurna bagi manusia yang normal.

kata terakhir dari saya , cintainlah dirinya dari dalam lubuk hati yang paling adalam dan jangan pernah ada niat untuk menyakitinya dan harus saling menjaga perasaan masing-masing agar hubungan makin nyaman dan langgeng.

menurut anda ada kah itu cinta buta???? hanya ada yang tahu.

catatan pribadi saya : AKBAR MAULANA

Usulkan Perombakan Pengurus

Usulkan Perombakan Pengurus

TRIBUN-MEDAN.com - KETUA SmeCk, Nata Simangunsong mengatakan, SmeCk tidak mempersoalkan lama atau cepatnya pembentukan tim. Menurutnya, akar masalahnya terletak pada non profesionalisme manajemen dan pengurus. "Maka jauh lebih penting dan mendasar untuk mengubah atau merevolusi struktur manajemen dan kepengurusan," ujar Nata kepada Tribun Medan, Minggu (5/6).

Menurut Nata, jika wajah-wajah lama masih menduduki kursi manajemen, jangan harap PSMS dapat berprestasi lolos ISL. "Kita harus melihat duduk masalah secara jernih. Apalagi tahun depan, klub-klub profesional yang berlaga di Liga Super dan Divisi Utama tidak lagi mendapat kucuran dana APBD. Sehingga diperlukan manajemen yang profesional dan kreatif," ujar Nata.

Menanggapi hal itu Idris menyebutkan pengurus sudah memikirkan langkah-langkah alternatif untuk terlepas dari APBD. "Pengurus tetap berupaya melakukan terobosan-terobosan menggalang dana. PSMS tetap memiliki nilai jual. Yang perlu kita lakukan adalah saling dukung bukan membangun opini yang destruktif," kata Idris.(raf)

Idris Optimis Tanpa APBD

Idris Optimis Tanpa APBD

TRIBUN-MEDAN.com,  MEDAN - Sekretaris Umum PSMS Idris, mengatakan, pihaknya belum memiliki solusi yang tepat untuk mendapatkan pembiayaan alternatif terkait operasional klub tahun depan. Meskipun demikian, pihaknya akan berupaya keras. "Ya, cukup berat memang. Tetapi tidak ada yang mustahil jika seluruh stake holder  dapat bekerjasama," ujar Idris kepada Tribun Medan, Minggu (5/6).

   Idris membenarkan, memang dibutuhkan kreativitas pengurus dan manajemen dalam mewujudkannya. Perusahaan seperti PTPN III, PTPN IV dan PT Bank Sumut adalah perusahaan yang potensial untuk mendukung pendanaan PSMS. Khusus untuk Bank Sumut sudah menjadi sponsor di musim 2010/2011. "PSMS punya nama besar di Sumut dan Indonesia. Karena itu kami optimis dapat melakukannya. Dengan catatan kita semua saling dukung dan membangun kritik yang membangun," katanya.

     Direktur PT Liga Indonesia Joko Driyono mengatakan PT Liga Indonesia berencana mengumpulkan klub peserta liga pada bulan Juli. Rapat ini akan membahas soal larangan penggunaan APBD.

    Joko mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah alternatif solusi menyelamatkan nasib klub-klub. "Ya, katakanlah klub-klub harus pro aktif menjalin kerjasama dengan BUMD daerah atau perusahaan lokal untuk sponsorship," ujara anggota KN itu saat dihubungi Tribun dari Medan.

CEO Bintang Medan Dityo Pramono menyebutkan format larangan APBD sangat tepat. "Saat ini sepakbola adalah bisnis, jadi memang harus profit oriented," ujarnya.

Minggu, 05 Juni 2011

Seperti Panitia Sunat Massal

REMANG petang hampir sempurna ketika satu persatu pemain PSMS Medan beranjak dari Mes Kebun Bunga. Hari itu, Rabu (25/5), adalah hari terakhir mereka di sana. Hari terakhir setelah satu musim kompetisi penuh bersama-sama. Di sana mereka bersenda-gurau, tertawa, berdiskusi serius, kadang-kadang bahkan saling menghardik, juga saling diam  tenggelam dalam kekecewaan ketika Ayam Kinantan didera kekalahan. Satu musim lewat bersama begitu banyak kenangan, hingga tidaklah mengherankan apabila sebagian besar pemain sampai menitikkan airmata.

Suasana yang melankolis semacam ini sesungguhnya tak perlu terjadi apabila tim tempat mereka bermain menjalankan sistem manajemen secara profesional. Tapi apa boleh buat, profesionalitas PSMS Medan (dan sebagian besar klub sepakbola di negeri ini) masih sekadar slogan, cuma make up. Artinya, di balik wajah yang sok gemerlap itu, ada wajah lain yang sebesarnya merupakan wajah asli: wajah amatir.

Jadi sudah tentu tidak ada cerita kontrak panjang yang memungkinkan seorang pemain merumput di klub yang sama dari satu musim ke musim lain. Di Indonesia, entah kapan bisa lahir pemain seperti Ryan Giggs, yang sudah memakai kostum Manchester United sejak masih berusia 13.

Kita pun belum berani membayangkan situasi seperti yang dialami Lionel Messi. Dari Argentina ia diboyong FC Barcelona pada usia 11 (diboyong sekaligus bersama sanak keluarganya), dimasukkan ke Akademi La Masia, lantas dipromosikan ke tim remaja, disembuhkan penyakit gangguan pertumbuhan tulangnya (penyakit yang mengancam ia maksimal hanya mencapai tinggi badan 155 cm), lalu diberi kontrak panjang. Kelompok suporter garis keras Barcelona sudah menyuarakan agar pemain ajaib ini diberi kontrak seumur hidup agar ia tak akan bermain untuk klub mana pun kecuali Los Azulgrana sepanjang kariernya.

Kita memang tak berani bahkan sekadar untuk membayangkan. Sebab di Indonesia, skuad klub-klub sepakbola (termasuk PSMS tentunya) tak ubah panitia kurban, atau panitia sunat massal, yang dibentuk lantas dibubarkan begitu perhelatan usai. Profesionalitas menjadi jawaban di satu sisi. Tapi di sisi lain, ada jawaban berbeda: pemikiran instan. Profesionalisme di Indonesia disalahartikan dengan banderol kontrak gila-gilaan pada pemain, terutama sekali pemain asing. Padahal profesionalisme punya bentuk lain yang lebih sahih, yakni pembinaan berkesinambungan sejak usia dini.

Di Inggris misalnya, Manchester United, Liverpool, Everton, dan West Ham United, dipandang sebagai klub-klub yang terhormat. United dan Liverpool dihormati karena tiga hal: prestasi, kekuatan finansial, dan akademi sepakbola. Everton dan West Ham United hanya karena poin terakhir. Namun meski hanya mengandalkan akademi, pada poin ini mereka sungguh-sungguh bagus. Everton melahirkan banyak pemain berkelas, satu di antaranya Wayne Rooney. West Ham lebih fenomenal lagi. Separuh isi tim nasional Inggris sekarang, menimba ilmu sepakbola di sana sejak mereka masih ingusan. Mungkin mereka agak terbata-bata di EPL. Namun setidaknya, Everton dan West Ham tetap punya kebanggaan. Mereka menghasilkan banyak pemain berkelas dan dari sini imbasnya adalah pemasukan finansial yang besar untuk klub.

Pembinaan seperti ini sebenarnya tidak asing bagi PSMS Medan. Dalam level berbeda, sejak tahun 1970-an mereka sudah menerapkannya. Bukan akademi, memang, melainkan kompetisi internal. Terbagi ke dalam tiga divisi, roda kompetisi ini berputar secara berkesinambungan hingga kuartal pertama dekade 1990-an. Bagi yang masih ingat, ketika itu ada klub-klub seperti Sahata, Dinamo, PO Polisi, Volta, Putra Buana, PSAD, Tirtanadi, Echo Lima 41, dan lain-lain. Mereka bersaing ketat memperebutkan tropi kejuaraan. Ada sistem promosi dan degradasi.

Dari kompetisi inilah PSMS merekrut pemain-pemain yang akan diterjunkan ke dalam kompetisi perserikatan. Siapapun yang ditunjuk sebagai pelatih, tinggal memilih di antara pemain-pemain yang sudah dipantau sedari awal musim. Rata-rata kemudian tersaring antara 30 sampai 35 pemain, dan pelatih tinggal memerasnya menjadi 18 hingga 21 pemain. Dari sinilah lahir para legenda PSMS Medan itu, termasuk Suharto dan Edi Syahputra, Pelatih Kepala dan Asisten Pelatih PSMS di musim kompetisi 2010-2011 lalu.

Di luar kemudahan bagi pelatih, pemain-pemain yang terpilih juga sudah dijamin memahami filosofi sepakbola Medan. Tanpa perlu diarahkan, tanpa perlu ditekankan, mereka sudah mampu mengaplikasikan gaya permainan keras dan fanatis ala PSMS.

Tidak seperti sekarang. Siapapun pelatih dipaksa memeras tenaga dan otak yang lebih besar karena di awal musim mereka harus melakukan seleksi dengan pengetahuan yang sama sekali kabur. Pemain-pemain antah barantah datang begitu saja entah dari mana.

Filosofi sepakbola Medan itupun sudah luntur sama sekali. PSMS nyaris bermain tanpa karakter. Kadang mereka bermain dengan pressure and cover gaya Manchester United. Kadang malah ingin mengadopsi Tiki-Taka Barcelona. Keinginan yang patut diapresiasi. Namun sayang seribu kali sayang, lebih sering, gaya-gaya itu diterapkan tanpa pemahaman, tanpa filosofi dasar. Ibarat mempelajari teknik Jet Kun-Do Bruce Lee dari buku yang dibeli di kaki lima. Gaya ada, tapi tanpa tenaga.

Persoalannya adalah, sejak akhir era 1990-an, kompetisi intern ini sudah tak lagi berjalan. Klub-klub tersebut, entah masih hidup atau sudah mati, barangkali cuma pengurusnya saja yang tahu. Kapan mereka berlatih, dimana, jadwalnya kapan, atau yang paling krusial siapa pemain-pemainnya, juga menjadi misteri-misteri tersendiri.

Sebab tahu-tahu, (dan ini terjadi dari tahun ke tahun) ketika tim PSMS yang sedang diseleksi membutuhkan lawan untuk berujicoba, klub-klub ini bisa muncul utuh di lapangan. Ada pelatihnya, ada pemain intinya, ada cadangannya, ada tukang pijatnya dan jangan-jangan ada pula dukun dan pawang hujannya. Tentu saja mereka punya kostum sendiri, lengkap dengan nama klub dicetak besar-besar di bagian dada.

Apakah mereka "mempertahankan hidup" sekadar untuk menjadi lawan latih tanding? Atau alasan lain yang lebih mengacu pada romantisme sejarah? Kalaulah ini benar, alangkah mengenaskannya. Amatlah sangat mirisnya. Terutama sekali bagi pemain. Mereka menjadi anggota sebuah klub yang sama sekali tidak dapat menjadi pijakan baginya untuk bermain di PSMS atau klub mana pun di Liga Indonesia - apalagi tim nasional.

Orang-orang yang memandang segalanya dari kacamata untung rugi, terlebih-lebih jika dalam dirinya memang tidak memiliki rasa cinta terhadap sepakbola, akan langsung mencetus ketus: dari pada main bola tak jelas, mendingan jualan pisang goreng saja.

Benarkah seburuk itu kondisinya? Di beberapa klub memang demikian. Bahkan sesungguhnya mereka tinggal nama saja. Ada pengurusnya tapi tak berjalan aktivitasnya. Ketika kenalan pengurus itu, yang duduk di manajerial PSMS mengajak beruji tanding, ia dengan segera menyanggupi dan dalam tempo mungkin kurang dari satu jam bisa membentuk tim dadakan yang bermaterikan pemain-pemain "cabutan". Modalnya mudah dan murah, SMS berantai. Maka tak mengherankan jika kemudian terketengah pemandangan lucu: PSMS beruji tanding melawan tim berbeda, namun yang materi pemainnya sebagian besar dari itu ke itu juga.

Di sejumlah yang lain kondisinya mungkin tidak seburuk ini. Paling tidak kesempatan masih tetap ada. Jika keinginan pemain-pemain klub lokal Medan untuk mengenakan kostum hijau yang melegenda itu sudah demikian tak tertahankan, maka mereka bisa pergi sendiri mengikuti seleksi PSMS yang kalau tidak di Teladan, pastilah berlangsung di Kebun Bunga. Tentunya mereka berbekal sepatu sendiri, kaus kaki sendiri, pelindung tulang kering sendiri, obat gosok sendiri, kostum sendiri, dan sudah barang tentu, ongkos sendiri. Para pengurus hanya melepas dengan restu dan doa.

Yang seperti ini memang tergolong sial betul. Sudah bermain di klub yang tak punya masa depan, pengurus-pengurusnya pun memang tak punya tanggung jawab. Namun di luar "jenis" ini sesungguhnya  ada yang lebih beruntung. Yakni pemain-pemain yang punya kedekatan bagus dengan pengurus klub, dan pengurus klub itu juga dekat dengan orang-orang lingkaran terdalam manajemen PSMS. Hingga selain restu dan doa, dia pun akan dibekali sesuatu yang lebih mahal ketimbang sekadar sepatu, sekadar kaus kaki, pelindung tulang kering, obat gosok, kostum, atau ongkos. Bekal itu adalah semacam rekomendasi.

Walau merupakan rahasia umum yang "bahkan anak kecil sekali pun tahu", sudah pasti manajemen PSMS akan habis-habisan membantah hal ini. Sudah pasti mereka menyebut seleksi berlangsung mirip semboyan Pemilu (yang jelas-jelas penuh kecurangan itu): jujur, adil, bebas, dan rahasia (dalam arti,  siapa pemain yang lolos seleksi hanya pelatih dan tim penyeleksi yang tahu). Sudah pasti mereka akan mengatakan PSMS bersih dari pemain-pemain titipan.

Ah, terserah mau bilang apa. Kita tidak sedang dalam posisi berdebat soal benar tidaknya isu tersebut. Ada atau tidak adanya pemain titipan, substansi pembicaraan memang bukan mengarah ke sana. Bukan imbas, melainkan dasar penyebab. Pemain titipan ini, atau apa pun istilahnya, tidak akan menjadi bagian dari isu apabila proses perekrutan tidak dikerjakan dalam proses yang berlangsung instan, yang bagaikan susunan kepanitiaan sunat massal, orang-orang yang terlibat di dalamnya ditunjuk dalam rapat di warung kopi.

Sampai di sini mencuat pertanyaan? Kenapa kompetisi intern tidak lagi berjalan? Jangan-jangan ini memang erat berhubungan dengan kesalahkaprahan soal memahami arti profesionalisme. Manajemen lebih suka menggelontorkan uang bermilyar-milyar untuk mengontrak pemain, baik lokal maupun asing, namun sepenuhnya melupakan pembinaan sendiri. Sejauh ini, di PSMS, pintu bagi pemain muda binaan klub hanya dibuka sekadar untuk latihan bersama, program yang disebutkan sebagai "Magang", yang sungguh mati tiada berguna sama sekali.

Bahwa pemain-pemain mahal ini bisa mendatangkan entertainment, itu tak terpungkiri. Syukur-syukur (di beberapa klub) mereka malah bisa menghadirkan gelar juara. Tapi musim berikut, jika kontrak yang mereka tandatangani cuma berdurasi setahun, tak ada jaminan mereka bertahan. Jika ingin memakai lagi jasanya, manajemen harus menyodorkan kontrak baru yang biasanya bernilai lebih mahal.

Jika daftar dibuat, hingga trio Gaston Castano, Vagner Luis, dan Almiro Valaderes, sudah berapa banyak pemain asing yang memperkuat PSMS? Mungkin tak terhitung. Dari ketiga nama paling anyar ini, siapa pula yang sudah memastikan diri akan kembali berkostum Ayam Kinantan? Hingga hari ini tidak satupun. Artinya, untuk musim depan, manajemen harus kembali menyakar, membongkar stok "big sale" untuk mendapatkan pemain berkualitas "cukup makan" berharga terjangkau.

Situasi seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Tentu, bukan berarti pemain asing tak penting. Mereka tetap merupakan elemen yang harus ada. Namun alangkah lebih baik apabila dana PSMS yang tidak terlalu melimpah itu dimanfaatkan pula sebagian untuk membiayai kompetisi intern. Kalau memungkinkan malah lebih bagus lagi berpikir tentang tim remaja, tim junior, tim B, yang dikompetisikan secara teratur dan berkesinambungan.

Benar bahwa pemain-pemain yang lahir dari kompetisi ini akan pergi juga. Tapi bisa jadi juga tidak. Delapan pemain yang turun memperkuat Barcelona di final Liga Champions adalah pemain-pemain yang sudah merumput bersama sejak usia 14 tahun.

Kolom ini sekali waktu pernah memuat tulisan yang berisi angan-angan yang kelewatan. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai karena memang dimaksudkan sebagai sindiran -kecuali jika memang ada "multimilyuner gila" yang tiba-tiba tertarik pada PSMS. Tapi rasa-rasanya, kalau sekadar untuk mengembalikan lagi metode pembinaan seperti dulu, bukanlah hal yang mustahil.(*)

catatan seorang wartawan tribun medan : T Agus Khaidir

Puisi PSMS MEDAN

PSMS MEDAN


PSMS MEDAN ENGKAULAH KLUB KEBANGGAANKU
PSMS MEDAN ENGKAULAH KLUB KEBANGGAAN KOTA MEDAN
HIJAU-HIJAU ADALAH WARNA KEBANGGAANMU
AYAM KINANTAN ADALAH PANGGILANMU


TAPI,KENAPA DENGAN KAMU SEKARANG???
YANG DULU DISEGANI SEKARANG KOK MAKIN HANCUR
APA SALAH MU???
KENAPA KAMU SERING DIKERJAIN PSSI???


KAMI MAU KAMU KEMBALI DISEGANI DI INDONESIA
KAMI MAU KAMU DISEGANI DI DUNIA
MAJULAH PSMS
JAYALAH PSMS

Supir Taksi, Kakek Tua dan Tiket PSMS

Supir Taksi, Kakek Tua dan Tiket PSMS

“Apa lagi yang bisa dibanggakan dari kota Medan ini? Walikota dan Wakilnya ditahan gara-gara kasus korupsi, Gubernurnya juga disebut-sebut sedang diusut KPK. Eh, PSMS pun entah bagaimana nasibnya.”

Bagi Anda yang tidak menggilai sepakbola, mungkin ucapan teman saya di atas akan Anda anggap berlebihan. Bahasa gaulnya sekarang; lebay. Namun, jangan langsung mengklaim bahwa teman saya itu gila. Sebab, bagi penggila sepakbola, tim sepakbola kebanggaannya adalah manifestasi dari cermin kebanggaan dirinya sendiri. Bahkan, bisa jadi penawar duka kepahitan hidup yang dia jalani.
Tidak percaya? Suatu hari, dari Bandara Hang Nadim ke kawasan Nagoya, Batam, saya terlibat pembicaraan yang menarik dengan supir taksi yang saya tumpangi. Ringan memang bahasan kami; tentang persaingan dua media cetak besar di kota itu. Di sana, sebelumnya ada satu media besar yang sangat merajai dan boleh dikata memonopoli pasaran.
Belakangan ini, disebut-sebut hegemoni media itu mulai goyah dengan kehadiran salah satu media besar lainnya. Konon, banyak pembaca yang beralih ke media baru tersebut. Nah, salah satu pembaca yang pindah media itu adalah si bapak paruh baya yang menjadi supir taksi ini.
Saya cukup tercengang mendengar alasannya. “Di koran anu (menyebut nama merek media lama), tak pernah mengulas tim favorit saya, Valencia. Tiap hari Real Madrid terus yang mereka tulis. Saya tidak suka Real Madrid. Kalau di koran anu (menyebut nama media baru), tidak hanya tim besar saja yang mereka beritakan. Dan lumayan sering juga Valencia ditulis,” bebernya dengan wajah serius.
Lihatlah, betapa militansi seseorang terhadap bacaan yang telah dia lahap selama bertahun-tahun, bisa saja berubah hanya karena persoalan tim kebanggaannya yang tidak diakomodir. Padahal, apa sih hubungan si bapak ini dengan tim Valencia yang mungkin dalam mimpi pun dia tidak pernah bisa menonton permainannya secara langsung?
Tapi itulah sepakbola. Jargon romantisme ‘jauh di mata dekat di hati itu’ memang sepertinya lebih tepat untuk disematkan kepada penggila olahraga yang berasal dari Inggris ini. Tanpa batas dan tanpa logika. Football without frointers
Kegilaaan pencinta sepakbola terhadap tim kebanggaannya juga pernah saya alami dalam suatu perjalanan kereta api dari Jakarta menuju Surabaya. Di sebelah saya duduk seorang bapak tua, berkaca mata dan nyaris seluruh rambutnya sudah dipenuhi uban. Bawaannya dingin dan terkesan lelah, sehingga sapaan basa-basi saya tidak begitu banyak dia tanggapi, selain menjawab singkat bahwa dia berasal dari Malang.
Namun, sikap dinginya berubah 180 derajat ketika saya menanyakan satu pertanyaan; “Oya, Bapak tahu Aremania?”
Sontak, dia tersenyum dan menjelaskan kepada saya panjang lebar kalau dia masih sering datang ke Stadion Kanjuruhan Malang untuk mendukung Arema berlaga. Dia juga mengaku sering ikut bernyanyi bersama puluhan ribu suporter lainnya di dalam stadion. “Saya hapal lho lagu-lagu Aremania,” ucapnya.
Dari ceritanya yang berapi-api soal Arema, saya sudah bisa membayangkan bagaimana si bapak tua ini akan merasa jauh lebih muda puluhan tahun saat berada di tengah ribuan suporter Aremania. Sepakbola, setidaknya, telah membuatnya lupa akan umurnya yang sudah mendekati uzur.
Kisah kegilaan ini juga pernah saya dengar dari seorang teman asal Surabaya yang merantau ke Medan. “Awalnya, saya takut juga dengar cerita orang-orang Medan yang katanya kasar dan keras. Tapi ketika saya ingat bahwa saya Bonek, ketakutan saya itu sontak sirna,” ujarnya sembari tertawa ngakak.
Lihatlah, betapa jargon bondo nekat (bonek) yang disematkan kepada suporter Persebaya Surabaya, bisa menyuntikkan api keberanian bagi teman itu. Maklum saja, bonek ini dikenal memiliki darah yang pemberani, bahkan terkesan tidak takut kepada siapapun. Sepakbola, setidaknya, telah membuat teman saya ini lebih tenang dalam menjalani hidupnya di daerah baru.
Apakah masyarakat Medan tidak memiliki orang-orang seperti si supir taksi, bapak tua dan teman saya tadi? Saya yakin cukup banyak. Lantas, kalau ada, kenapa PSMS tidak kunjung berprestasi, paling tidak dalam kurun 15 tahun belakangan? Kemana dan dimana para penggila bola Medan?
Suporter, bagaimanapun, adalah bagian dari sebuah tim. Lewat tiket yang mereka beli, klub mendapatkan pemasukan dana. Lewat yel-yel mereka, 11 pemain yang berlaga di lapangan seakan mendapat suntikan darah baru, sementara 11 pemain lainnya mengalami penurunan nyali. Tak heran, jika faktor tuan rumah cenderung lebih memungkinkan untuk menang, ya itu tadi, karena pengaruh pemain ke 12; suporter.
Namun, jangan dilupakan, rasa memiliki suatu tim tidaklah bisa muncul begitu saja. Ada proses panjang dan perasaan keterwakilan di sana. Cerita romantisme tahun 1980-an kala PSMS berlaga di Jakarta dan kaum inang-inang Pasar Tanah Abang ikut mendukung, menjadi bukti bagaimana proses keterwakilan itu berjalan. PSMS adalah kami dan kami adalah PSMS, begitu mungkin yang tertanam di benak mereka.
Persoalannya, seiring waktu, proses keterwakilan itu seperti tergerus dari masyarakat Medan dimanapun berada. PSMS menjadi barang asing yang tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan mereka. Jangankan bagi mereka yang hanya memiliki darah Sumatera Utara, yang lahir dan besar di Sumut pun sepertinya lebih memilih untuk mencintai MU, Liverpool, Real Madrid, atau tim-tim Eropa lainnya, ketimbang tim yang memang bercokol di tanah kelahirannya.
Ada apa? Selain faktor minimnya prestasi, faktor rasa ketidakterwakilan itu ikut juga ambil peranan. PSMS seakan menjadi milik segelintir orang, sementara suporter atau fans hanya ditempatkan sebagai penggembira yang uangnya bisa digerus untuk pemasukan pengurus. Indikasinya, dapat dilihat dari mahalnya tiket menonton di Stadion Teladan yang minimalnya Rp20 ribu.
Jika saat itu disuguhkan dengan permainan yang apik, mungkin angka Rp20 ribu tidak menjadi soal. Namun, bagaimana kalau dengan angka sebegitu, suporter hanya disuguhi permainan sepakbola kelas antar-kampung? Salahkah jika fanatisme mereka juga ikut tergerus?
Ini tentunya layak menjadi catatan bagi pengurus. Utamanya, bagaimana agar mereka bisa menanamkan rasa memiliki itu kepada publik sepakbola Medan. Cara termudah, turunkan dulu harga tiket dan libatkan mereka yang tergabung dalam kelompok suporter dalam pengambilan keputusan.
Tanpa itu, PSMS akan tetap seperti raksasa yang kesepian, dan akhirnya hanya bisa tertidur lelap! (***)

penulis : rahmad lubis , penulis yang kritis terhadap sesuatu polemik

Sabtu, 04 Juni 2011

Apakah Tuhan Menonton Pertandingan Sepak Bola?

Apakah Tuhan Menonton Pertandingan Sepak Bola?


Kalau pertanyaan ini Anda tanyakan kepada pelatih Timnas Italia di Piala Dunia 2002, Giovanni Trappatoni, maka ia akan menjawab mantab: tentu saja!
Catatan: SYAIFULLAH
Menarik benar membedah pernyataannya itu. Ketika diwawancarai Reuters atas keberhasilannya membawa Timnas Italia lolos ke babak 16 besar, Trappatoni menjawab dengan unik. Tak seperti pelatih kebanyakan yang kerap menjawab pertanyaan wartawan dengan apologi sebab akibat dan sangat taktis sekali bagaikan sebuah rumus resmi, Trappatoni saat itu menjawab bahwa Tuhan pasti menonton setiap pertandingan sepak bola. Termasuk ketika timnya mampu lolos dari lubang jarum ke babak 16 besar Piala Dunia 2002. Saat itu Italia yang tergabung dalam Grup G memang hanya butuh hasil imbang karena di saat bersamaan pesaing utama Kroasia kalah dari Ekuador.
Meski sempat tertinggal lebih dulu lewat gol striker Meksiko, Jared Borgetti di menit 34, Italia mampu membalas lewat gol Alessandro Del Piero di menit 85. Hasil ini sangat disyukurinya. Maka ia tak lupa memuji Tuhannya. “Saya melafalkan doa saya yang biasa. Keadilan dan Tuhan itu ada. Saya percaya Tuhan menonton pertandingan dan Ia akan melakukan keadilan. Kami memiliki lima atau enam peluang bagus dan salah satunya pasti berhasil berdasar keadilan itu,” beber Trappatoni kepada media usai laga.
Sebagai umat beragama, tentu saja saya yakin Tuhan maha melihat. Ia melihat apa saja di atas bumi ini, termasuk menonton pertandingan sepak bola pastinya. Namun apakah Tuhan akan bersikap netral? Atau apakah Tuhan akan memenangkan satu tim yang didukungnya?
Pertanyaan itu tak layak diperdebatkan dan direnungkan. Karena jawabannya akan menuju ke hal-hal mistis di luar akal sehat manusia. Tuhan menciptakan takdir. Tapi bukan takdir itu yang hendak dibahas di sini. Yang akan dibahas adalah keterpautan antara sepak bola dan unsur misteri itu sendiri. Unsur mistis yang dikait-kaitkan Trappatoni dalam pesta sepak bola terbesar di bumi itu.
Membawa-bawa Tuhan ke arena sepak bola tampaknya kurang etis. Karena Tuhan dibutuhkan di setiap arena kehidupan. Maka itu, keterlibatan Tuhan akan menjadi sesuatu yang gaib bin mistis. Seperti sepak bola itu sendiri: penuh misteri-seperti yang kerap diutarakan pelatih kampung: Suimin Diharja.
Bicara misteri dalam sepak bola, saya sebenarnya tak ingin terlena dan percaya. Tapi media sekelas Reuters kadang terperangkap dalam ulasan-ulasan seperti itu. Reuters kerap mencari-cari sisi unik dari pergelaran sepak bola. Tujuan utama mereka merangkai hal-hal mistis acap kali berakhir di Benua Hitam Afrika. Saban digelar Piala Afrika, Reuters akan mengirim reporter terbaiknya untuk mencari-cari unsur mistis di ajang itu.
Dan Reuters memang berhasil melaporkan hal-hal ganjil yang kerap membuat bibir ini menyungging senyum. Salah satu yang ditemukan Reuters adalah kebiasaan vodoo para dukun pembela tiap negara yang bertarung. Laporan Reuters menyebutkan praktik spiritual bersifat mistis seperti mengorbankan binatang dan mengubur beberapa bagiannya di Gurun Sahara. Banyak bubuk dan cairan aneh berbau melingkari bagian tertentu di gurun itu.
Namun Konfederasi Sepak Bola Afrika melarang para tukang sihir itu masuk stadion saat berlangsung kompetisi tertinggi di benua itu. Bahkan di ajang Piala Dunia perdukunan dan unsur mistis kerap terjadi meski dalam skala minor. Trappatoni termasuk satu yang percaya hal-hal demikian. Buktinya di Piala Dunia 2002, Trappatoni kerap melakoni ritual menciprat-cipratkan air ke bangku pemain cadangan dengan tujuan yang sulit dijelaskan. Wah.
Itu semua sekelumit kisah di pentas sepak bola dunia. Apakah di negeri sendiri hal itu ada? Jawabannya tampaknya sama.
Baru-baru ini saya mendengar kalau PSMS Medan mengalami hal sama. Saat ditahan imbang 3-3 oleh Persiba Bantul yang sekaligus menggugurkan keinginan PSMS main di ISL musim depan itu, ada pengakuan unik bahwa para pemain seperti kena gendam. Unsur mistis mulai menggeliat sehari sebelum pertandingan itu. Salah satu yang kena adalah bek PSMS, Rahmat. Menurut pengakuan Asisten Manajer, Benny Tomosoa, Rahmat tidak bisa menggerakkan badannya dan tak bisa tidur sehari sebelum pertandingan. Menurut Benny, Rahmat kerap diikuti makhluk tak berwujud dan kondisi itu mengganggu kondisi psikis dan fisiknya. Alhasil, Rahmat tak turun di partai penentuan itu.
Tapi dugaan mistis itu sempat sirna ketika akhirnya PSMS berhasil unggul 3-0 di babak pertama. Semua lena dan yakin benar bahwa ISL sudah di depan mata. Tapi apa cerita? ternyata di babak kedua unsur mistis datang lagi.
Dibilang Benny pemain semua mengaku kalau di babak kedua itu mereka seperti tertekan benar dan sulit berkonsentrasi. Bahkan ada yang mengaku mereka seperti sulit sekali menggerakkan tubuhnya. “Saya tak pernah percaya yang begini. Tapi kami mengalaminya. Tidak akan ada yang percaya seperti saya juga tak akan percaya dengan kondisi mistis seperti ini. Tapi bagi yang mengalami barulah mereka percaya bahwa unsur mistis itu sendiri sebenarnya ada dalam sepak bola,” kata Benny tak bermaksud cuci tangan atas kegagalan PSMS ke ISL musim depan.

MAMPUKAH PSMS MEDAN LOLOS ISL MUSIM 2012-2013??