Jumat, 10 Juni 2011

PSMS Bintang, Bintang PSMS, Medan City, PSMS 1950

PSMS Bintang, Bintang PSMS, Medan City, PSMS 1950

Catatan Sepakbola | T Agus Khaidir

Beberapa waktu lalu, dalam percakapan bersama beberapa rekan pada forum diskusi level warung kopi, tentunya setelah ngalor ngidul kesana kemari mulai soal heboh SMS "main belakang" Nazaruddin hingga Lionel Messi, sekonyong-konyong tercuat topik soal PSMS.
BUKAN menyangkut kegagalan menyakitkan di putaran delapan besar yang hingga detik ini penyebabnya masih menyisakan misteri. Bukan pula terkait ribut-ribut beberapa eks pemain yang menyebut gajinya yang sampai detik ini belum dibayarkan. Tapi perihal wacana peleburannya dengan Bintang Medan.

Disebut wacana karena sejauh ini memang baru sekadar ide. Itu pun kemudian diketahui bukan dicetuskan oleh kedua lembaga bersangkutan. Para petinggi manajemen PSMS Medan maupun Bintang Medan sama-sama terkejut mendengarnya.

Sebelum masuk pada keterkejutan itu, barangkali ada baiknya dirunut dulu seperti apa idenya. Ide yang ketika dipandang sekilas pintas memang memukau, memesona, menakjubkan, tapi setelah dicermati lebih jauh dan lebih dalam ternyata -meminjam kalimat yang biasa muncul dalam kisah-kisah humor tahun 1950an (yang rata-rata ditulis oleh pengarang peranakan Indonesia-Tionghoa)- amatlah loetjoe sampai bikin moelas peroet.

Ide besarnya adalah penyatuan Indonesia Super Liga (ISL) dan Liga Primer Indonesia (LPI): liga "negeri" dan "swasta" di negeri ini. Konon FIFA sudah memberi ultimatum agar dagelan yang sesungguhnya tak lucu ini segera dihentikan. "Kami cuma mau mengakui satu liga. Kalian pilih satu di antaranya," barangkali begitu Sepp Blatter berkata.

Karena hampir tidak mungkin menghentikan ISL (dan seluruh turunannya hingga divisi III), maka sudah barang tentu LPI yang harus dihilangkan. Namun sudah tentu pula hal ini tidak semudah membalik telapak tangan. Bagaimanapun konsorsium LPI telah berbuat untuk sepakbola negeri ini  (kalimat lain untuk menyebut sudah mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak sedikit). Liga telah digelar: ada jadwal pertandingan, ada klub, ada pelatih, pemain, ofisial, ada panitia pertandingan, ada tukang catut karcis, ada pedagang asongan, ada tukang parkir, dan lainnya. Pendek kata, ada banyak orang yang mencari makan di sana dan karena faktor kemanusiaan juga harus masuk sebagai parameter perhitungan.

Barangkat dari sini ide yang muncul bukan pembubaran, tapi penyatuan. Dua belah pihak setuju. Yang belum disepakati adalah konsep penyatuannya. Kemana LPI akan dilebur? Nah, sampai di sini, seperti Belanda yang sudah dizinkan masuk untuk berbisnis jual beli rempah tapi kemudian serakah mau mencaplok tanah, "orang-orang" LPI, lewat kepercayaan diri tingkat tinggi ngotot ingin masuk ke ISL, kasta tertinggi sepakbola nasional. Artinya, klub-klub yang baru dibentuk rata-rata satu tahun ini (kecuali PSM Makassar, Persema Malang, Persebaya Surabaya, dan Persibo Bojonegoro), melesat langsung melewati tiga jenjang. Padahal tiap tahun ratusan klub berjuang satu musim kompetisi penuh (sekitar 9-10 bulan) untuk naik level.

Mungkin karena banyak yang mentertawakan kekonyolannya, kengototan ini surut. Berganti wacana lain, yakni merger, peleburan. Klub LPI melebur dengan klub dari liga PSSI yang berada dalam satu wilayah. Misalnya, Persija dengan Batavia Union atau Jakarta 1928, Persipura dengan Cendrawasih Papua, Semen Padang dengan Minangkabau FC, Persiraja dengan Aceh United, Persib dengan Bandung FC, dan lainnya, termasuk Pro Titan dengan Medan Chiefs dan PSMS dengan Bintang Medan. Tujuannya sama, masuk ke ISL.

Sampai di sini muncul tiga tanda tanya. Pertama, klub yang tidak memiliki patner merger di satu wilayah akan pergi kemana? Ke ISL, ke Divisi Utama, ke Divisi I atau kemana?

Contohnya Bali De Vata. Kemana mereka akan melebur? Bali sebenarnya bukan tak punya klub yang berkiprah di Liga Indonesia. Namun Persegi Gianyar dan Persekaba Badung hanya berada di Divisi I. Perseden Denpasar bahkan lebih jauh lagi di level bawah. Apakah klub LPI nan merasa diri elitis ini mau berkompetisi di sana? Rasanya tidak. Karena jika tidak, tentulah Bintang Medan tak hanya membidik PSMS yang berada di Divisi Utama. Mereka pasti juga akan melirik Medan Jaya atau PSDS Deliserdang yang saat ini berkutat di Divisi I.

Tanda tanya kedua dan ketiga memiliki keterkaitan satu sama lain karena sama-sama berhubungan dengan kata sepakat. Apakah klub-klub Liga Indonesia mau saja dimerger?

Peleburan hakekatnya menguatkan. Bagaimana jika upaya peleburan justru tidak merujuk ke arah itu? Bukan bermaksud menyepelekan. Tapi apalah, misalnya, yang bisa diharap dari Cendrawasih Papua? Apakah mereka bisa menambah soliditas, kemapanan teknik, dan ketajaman yang sudah terbentuk di antara Boaz Salossa dan kawan-kawan yang tahun ini kembali menjuarai ISL? Kekuatan kedua klub ini ibarat bumi dan langit. Yang satu juara kompetisi level tertinggi, bahkan melesat memberi sengatan di Liga Champions Asia, yang satu terpuruk di dasar klasemen LPI.

Alangkah beruntungnya Cendrawasih. Alangkah malangnya Persipura. Atau mungkinkah mereka sedikit menurunkan posisi tawar, merayu untuk melebur bersama Persiwa Wamena? Atau, jika memang upaya menyeberang ke ISL cukup dengan melebur dengan klub Divisi Utama, bisakah mereka mendekati Perdafon Dafonsoro, Persiram Raja Ampat, atau Perseman Manokwari?

Belum lagi jika bicara dari sudut pandang cocok tak cocok. Lihatlah ke Malang! Arema dan Persema, sampai datang "hari kiamat" sekalipun barangkali tidak akan mau saling melebur. Arema telah lama memproklamirkan diri sebagai "suara rakyat", sedangkan Persema sebaliknya, "nafas birokrat". Mereka bermusuhan dari sisi filosofis dan ideologi, seperti halnya Real dan Atletico di Madrid atau Juventus dan Torino di Turin.

Baiklah dari Malang akan datang dua tim. Bagaimana kota-kota lain? Persija, apakah akan melayani peleburan sekaligus dari Batavia Union dan Jakarta 1928? Jika Macan Kemayoran menolak, kemana bidikan beralih? Ke Persitara yang berada di Divisi Utama? Atau ke Persikota dan Persita Tangerang dengan risiko bersaing dengan Tangerang Wolves? Juga Persiba Bantul, apakah akan lapang dada bersedia membonceng Ksatria Solo FC dan Real Mataram, setelah mereka berjuang sampai nafas ngos-ngosan untuk bisa lolos ke ISL?

Sampai di sini saja kekacauan sudah sangat kompleks. Tapi itu belum cukup. Masih ada kekacauan lain yang lebih prinsipil sifatnya. Sebagaimana lazimnya peleburan, tentulah diperlukan nama baru sebagai penanda identitas terkini. Keliru benar jika menganggap perkara mengubah nama ini seremeh hal serupa dalam program custom game pada winning eleven, pro evolution soccer, atau football manager. Di alam nyata, nama ini menyangkut karakteristik, sejarah, bahkan kehormatan.

Belum jelas di daerah lain, tapi untuk wacana merger PSMS Medan dan Bintang Medan, sejauh ini sudah tercetus empat opsi nama, yakni PSMS Bintang, Bintang PSMS, Medan City, dan PSMS 1950. Tapi persoalannya, apakah orang Medan setuju?

Sampai kapan pun mungkin tidak. Maka seperti para petinggi manajemen PSMS dan Bintang Medan, keterkejutan yang sama juga muncul dari para dedengkot kelompok suporter. Nata Simangunsong dari SMeCK Hooligan menyebutnya sebagai wacana ngawur. Usman Toekoel lebih keras lagi bersuara. Pentolan PSMS Fans Club ini, sang peneriak di pagar tribun sektor utara Stadion Teladan, pada akun Facebook miliknya menuliskan kalimat ini: "Mau BM, PSMS Bintang, suka kalian lah itu, yg jelas kami bukan penjilat. Hanya PSMS Medan yang kami dukung. Selain itu haram."

SMeCK memiliki kurang lebih 10 ribuan anggota yang loyal dan rela melakukan hal paling gila sekalipun demi PSMS. Semboyan mereka yang terkenal berbunyi "PSMS Sampai Mati". PSMS Fans Club tidaklah kalah militan. Masih pula ada Kampak FC yang meneriakkan ketidakrelaan serupa. Jadi apalagi! Rasanya tak ada suara lain yang lebih sahih dari suara mereka.(*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAMPUKAH PSMS MEDAN LOLOS ISL MUSIM 2012-2013??