Minggu, 05 Juni 2011

Seperti Panitia Sunat Massal

REMANG petang hampir sempurna ketika satu persatu pemain PSMS Medan beranjak dari Mes Kebun Bunga. Hari itu, Rabu (25/5), adalah hari terakhir mereka di sana. Hari terakhir setelah satu musim kompetisi penuh bersama-sama. Di sana mereka bersenda-gurau, tertawa, berdiskusi serius, kadang-kadang bahkan saling menghardik, juga saling diam  tenggelam dalam kekecewaan ketika Ayam Kinantan didera kekalahan. Satu musim lewat bersama begitu banyak kenangan, hingga tidaklah mengherankan apabila sebagian besar pemain sampai menitikkan airmata.

Suasana yang melankolis semacam ini sesungguhnya tak perlu terjadi apabila tim tempat mereka bermain menjalankan sistem manajemen secara profesional. Tapi apa boleh buat, profesionalitas PSMS Medan (dan sebagian besar klub sepakbola di negeri ini) masih sekadar slogan, cuma make up. Artinya, di balik wajah yang sok gemerlap itu, ada wajah lain yang sebesarnya merupakan wajah asli: wajah amatir.

Jadi sudah tentu tidak ada cerita kontrak panjang yang memungkinkan seorang pemain merumput di klub yang sama dari satu musim ke musim lain. Di Indonesia, entah kapan bisa lahir pemain seperti Ryan Giggs, yang sudah memakai kostum Manchester United sejak masih berusia 13.

Kita pun belum berani membayangkan situasi seperti yang dialami Lionel Messi. Dari Argentina ia diboyong FC Barcelona pada usia 11 (diboyong sekaligus bersama sanak keluarganya), dimasukkan ke Akademi La Masia, lantas dipromosikan ke tim remaja, disembuhkan penyakit gangguan pertumbuhan tulangnya (penyakit yang mengancam ia maksimal hanya mencapai tinggi badan 155 cm), lalu diberi kontrak panjang. Kelompok suporter garis keras Barcelona sudah menyuarakan agar pemain ajaib ini diberi kontrak seumur hidup agar ia tak akan bermain untuk klub mana pun kecuali Los Azulgrana sepanjang kariernya.

Kita memang tak berani bahkan sekadar untuk membayangkan. Sebab di Indonesia, skuad klub-klub sepakbola (termasuk PSMS tentunya) tak ubah panitia kurban, atau panitia sunat massal, yang dibentuk lantas dibubarkan begitu perhelatan usai. Profesionalitas menjadi jawaban di satu sisi. Tapi di sisi lain, ada jawaban berbeda: pemikiran instan. Profesionalisme di Indonesia disalahartikan dengan banderol kontrak gila-gilaan pada pemain, terutama sekali pemain asing. Padahal profesionalisme punya bentuk lain yang lebih sahih, yakni pembinaan berkesinambungan sejak usia dini.

Di Inggris misalnya, Manchester United, Liverpool, Everton, dan West Ham United, dipandang sebagai klub-klub yang terhormat. United dan Liverpool dihormati karena tiga hal: prestasi, kekuatan finansial, dan akademi sepakbola. Everton dan West Ham United hanya karena poin terakhir. Namun meski hanya mengandalkan akademi, pada poin ini mereka sungguh-sungguh bagus. Everton melahirkan banyak pemain berkelas, satu di antaranya Wayne Rooney. West Ham lebih fenomenal lagi. Separuh isi tim nasional Inggris sekarang, menimba ilmu sepakbola di sana sejak mereka masih ingusan. Mungkin mereka agak terbata-bata di EPL. Namun setidaknya, Everton dan West Ham tetap punya kebanggaan. Mereka menghasilkan banyak pemain berkelas dan dari sini imbasnya adalah pemasukan finansial yang besar untuk klub.

Pembinaan seperti ini sebenarnya tidak asing bagi PSMS Medan. Dalam level berbeda, sejak tahun 1970-an mereka sudah menerapkannya. Bukan akademi, memang, melainkan kompetisi internal. Terbagi ke dalam tiga divisi, roda kompetisi ini berputar secara berkesinambungan hingga kuartal pertama dekade 1990-an. Bagi yang masih ingat, ketika itu ada klub-klub seperti Sahata, Dinamo, PO Polisi, Volta, Putra Buana, PSAD, Tirtanadi, Echo Lima 41, dan lain-lain. Mereka bersaing ketat memperebutkan tropi kejuaraan. Ada sistem promosi dan degradasi.

Dari kompetisi inilah PSMS merekrut pemain-pemain yang akan diterjunkan ke dalam kompetisi perserikatan. Siapapun yang ditunjuk sebagai pelatih, tinggal memilih di antara pemain-pemain yang sudah dipantau sedari awal musim. Rata-rata kemudian tersaring antara 30 sampai 35 pemain, dan pelatih tinggal memerasnya menjadi 18 hingga 21 pemain. Dari sinilah lahir para legenda PSMS Medan itu, termasuk Suharto dan Edi Syahputra, Pelatih Kepala dan Asisten Pelatih PSMS di musim kompetisi 2010-2011 lalu.

Di luar kemudahan bagi pelatih, pemain-pemain yang terpilih juga sudah dijamin memahami filosofi sepakbola Medan. Tanpa perlu diarahkan, tanpa perlu ditekankan, mereka sudah mampu mengaplikasikan gaya permainan keras dan fanatis ala PSMS.

Tidak seperti sekarang. Siapapun pelatih dipaksa memeras tenaga dan otak yang lebih besar karena di awal musim mereka harus melakukan seleksi dengan pengetahuan yang sama sekali kabur. Pemain-pemain antah barantah datang begitu saja entah dari mana.

Filosofi sepakbola Medan itupun sudah luntur sama sekali. PSMS nyaris bermain tanpa karakter. Kadang mereka bermain dengan pressure and cover gaya Manchester United. Kadang malah ingin mengadopsi Tiki-Taka Barcelona. Keinginan yang patut diapresiasi. Namun sayang seribu kali sayang, lebih sering, gaya-gaya itu diterapkan tanpa pemahaman, tanpa filosofi dasar. Ibarat mempelajari teknik Jet Kun-Do Bruce Lee dari buku yang dibeli di kaki lima. Gaya ada, tapi tanpa tenaga.

Persoalannya adalah, sejak akhir era 1990-an, kompetisi intern ini sudah tak lagi berjalan. Klub-klub tersebut, entah masih hidup atau sudah mati, barangkali cuma pengurusnya saja yang tahu. Kapan mereka berlatih, dimana, jadwalnya kapan, atau yang paling krusial siapa pemain-pemainnya, juga menjadi misteri-misteri tersendiri.

Sebab tahu-tahu, (dan ini terjadi dari tahun ke tahun) ketika tim PSMS yang sedang diseleksi membutuhkan lawan untuk berujicoba, klub-klub ini bisa muncul utuh di lapangan. Ada pelatihnya, ada pemain intinya, ada cadangannya, ada tukang pijatnya dan jangan-jangan ada pula dukun dan pawang hujannya. Tentu saja mereka punya kostum sendiri, lengkap dengan nama klub dicetak besar-besar di bagian dada.

Apakah mereka "mempertahankan hidup" sekadar untuk menjadi lawan latih tanding? Atau alasan lain yang lebih mengacu pada romantisme sejarah? Kalaulah ini benar, alangkah mengenaskannya. Amatlah sangat mirisnya. Terutama sekali bagi pemain. Mereka menjadi anggota sebuah klub yang sama sekali tidak dapat menjadi pijakan baginya untuk bermain di PSMS atau klub mana pun di Liga Indonesia - apalagi tim nasional.

Orang-orang yang memandang segalanya dari kacamata untung rugi, terlebih-lebih jika dalam dirinya memang tidak memiliki rasa cinta terhadap sepakbola, akan langsung mencetus ketus: dari pada main bola tak jelas, mendingan jualan pisang goreng saja.

Benarkah seburuk itu kondisinya? Di beberapa klub memang demikian. Bahkan sesungguhnya mereka tinggal nama saja. Ada pengurusnya tapi tak berjalan aktivitasnya. Ketika kenalan pengurus itu, yang duduk di manajerial PSMS mengajak beruji tanding, ia dengan segera menyanggupi dan dalam tempo mungkin kurang dari satu jam bisa membentuk tim dadakan yang bermaterikan pemain-pemain "cabutan". Modalnya mudah dan murah, SMS berantai. Maka tak mengherankan jika kemudian terketengah pemandangan lucu: PSMS beruji tanding melawan tim berbeda, namun yang materi pemainnya sebagian besar dari itu ke itu juga.

Di sejumlah yang lain kondisinya mungkin tidak seburuk ini. Paling tidak kesempatan masih tetap ada. Jika keinginan pemain-pemain klub lokal Medan untuk mengenakan kostum hijau yang melegenda itu sudah demikian tak tertahankan, maka mereka bisa pergi sendiri mengikuti seleksi PSMS yang kalau tidak di Teladan, pastilah berlangsung di Kebun Bunga. Tentunya mereka berbekal sepatu sendiri, kaus kaki sendiri, pelindung tulang kering sendiri, obat gosok sendiri, kostum sendiri, dan sudah barang tentu, ongkos sendiri. Para pengurus hanya melepas dengan restu dan doa.

Yang seperti ini memang tergolong sial betul. Sudah bermain di klub yang tak punya masa depan, pengurus-pengurusnya pun memang tak punya tanggung jawab. Namun di luar "jenis" ini sesungguhnya  ada yang lebih beruntung. Yakni pemain-pemain yang punya kedekatan bagus dengan pengurus klub, dan pengurus klub itu juga dekat dengan orang-orang lingkaran terdalam manajemen PSMS. Hingga selain restu dan doa, dia pun akan dibekali sesuatu yang lebih mahal ketimbang sekadar sepatu, sekadar kaus kaki, pelindung tulang kering, obat gosok, kostum, atau ongkos. Bekal itu adalah semacam rekomendasi.

Walau merupakan rahasia umum yang "bahkan anak kecil sekali pun tahu", sudah pasti manajemen PSMS akan habis-habisan membantah hal ini. Sudah pasti mereka menyebut seleksi berlangsung mirip semboyan Pemilu (yang jelas-jelas penuh kecurangan itu): jujur, adil, bebas, dan rahasia (dalam arti,  siapa pemain yang lolos seleksi hanya pelatih dan tim penyeleksi yang tahu). Sudah pasti mereka akan mengatakan PSMS bersih dari pemain-pemain titipan.

Ah, terserah mau bilang apa. Kita tidak sedang dalam posisi berdebat soal benar tidaknya isu tersebut. Ada atau tidak adanya pemain titipan, substansi pembicaraan memang bukan mengarah ke sana. Bukan imbas, melainkan dasar penyebab. Pemain titipan ini, atau apa pun istilahnya, tidak akan menjadi bagian dari isu apabila proses perekrutan tidak dikerjakan dalam proses yang berlangsung instan, yang bagaikan susunan kepanitiaan sunat massal, orang-orang yang terlibat di dalamnya ditunjuk dalam rapat di warung kopi.

Sampai di sini mencuat pertanyaan? Kenapa kompetisi intern tidak lagi berjalan? Jangan-jangan ini memang erat berhubungan dengan kesalahkaprahan soal memahami arti profesionalisme. Manajemen lebih suka menggelontorkan uang bermilyar-milyar untuk mengontrak pemain, baik lokal maupun asing, namun sepenuhnya melupakan pembinaan sendiri. Sejauh ini, di PSMS, pintu bagi pemain muda binaan klub hanya dibuka sekadar untuk latihan bersama, program yang disebutkan sebagai "Magang", yang sungguh mati tiada berguna sama sekali.

Bahwa pemain-pemain mahal ini bisa mendatangkan entertainment, itu tak terpungkiri. Syukur-syukur (di beberapa klub) mereka malah bisa menghadirkan gelar juara. Tapi musim berikut, jika kontrak yang mereka tandatangani cuma berdurasi setahun, tak ada jaminan mereka bertahan. Jika ingin memakai lagi jasanya, manajemen harus menyodorkan kontrak baru yang biasanya bernilai lebih mahal.

Jika daftar dibuat, hingga trio Gaston Castano, Vagner Luis, dan Almiro Valaderes, sudah berapa banyak pemain asing yang memperkuat PSMS? Mungkin tak terhitung. Dari ketiga nama paling anyar ini, siapa pula yang sudah memastikan diri akan kembali berkostum Ayam Kinantan? Hingga hari ini tidak satupun. Artinya, untuk musim depan, manajemen harus kembali menyakar, membongkar stok "big sale" untuk mendapatkan pemain berkualitas "cukup makan" berharga terjangkau.

Situasi seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Tentu, bukan berarti pemain asing tak penting. Mereka tetap merupakan elemen yang harus ada. Namun alangkah lebih baik apabila dana PSMS yang tidak terlalu melimpah itu dimanfaatkan pula sebagian untuk membiayai kompetisi intern. Kalau memungkinkan malah lebih bagus lagi berpikir tentang tim remaja, tim junior, tim B, yang dikompetisikan secara teratur dan berkesinambungan.

Benar bahwa pemain-pemain yang lahir dari kompetisi ini akan pergi juga. Tapi bisa jadi juga tidak. Delapan pemain yang turun memperkuat Barcelona di final Liga Champions adalah pemain-pemain yang sudah merumput bersama sejak usia 14 tahun.

Kolom ini sekali waktu pernah memuat tulisan yang berisi angan-angan yang kelewatan. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai karena memang dimaksudkan sebagai sindiran -kecuali jika memang ada "multimilyuner gila" yang tiba-tiba tertarik pada PSMS. Tapi rasa-rasanya, kalau sekadar untuk mengembalikan lagi metode pembinaan seperti dulu, bukanlah hal yang mustahil.(*)

catatan seorang wartawan tribun medan : T Agus Khaidir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAMPUKAH PSMS MEDAN LOLOS ISL MUSIM 2012-2013??